Pernahkah Anda membayangkan berjalan-jalan di tempat di mana manusia purba pernah hidup dan berkembang? Sangiran, adalah wilayah yang mencakup 25 desa, berada di 2 Kabupaten, yaitu Sragen dan Karangan, di Jawa Tengah, Indonesia, adalah salah satu situs arkeologi paling penting di dunia yang memberikan jendela ke masa lalu kita.
Penemuan situs fosil di Sangiran telah mengangkatnya sebagai situs warisan dunia, namun ironisnya, masyarakat lokal yang hidup di sekitarnya belum sepenuhnya merasakan manfaatnya. Dulu, fosil-fosil ini dianggap sebagai "emas" yang dapat dijual dengan harga tinggi, mendorong perdagangan ilegal yang merajalela. Meski upaya pelestarian telah dilakukan, seperti UU Benda Cagar Budaya dan pelatihan kerajinan, namun masyarakat masih merindukan perubahan yang lebih signifikan. Potensi besar Sangiran sebagai situs warisan dunia belum sepenuhnya terwujud dalam kesejahteraan masyarakatnya.
Siapa sangka, di desa Manyarejo, Sangiran, tengah berlangsung sebuah gerakan pelestarian budaya yang unik? Kegiatan PATI V (Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia) tahun 2023 yang diselenggarakan oleh Yayasan Arsari Djojohadikusumo telah menyatukan para mahasiswa, arkeolog, pemerintah, kelompok empu Balung Buto dan komunitas Brayat Krajan. Dengan semangat gotong royong, mereka berkolaborasi agar komunitas terlibat dalam pengelolaan sumber daya budaya (Culture Resource Management) di kawasan Situs Mayarejo. Para empu, dengan pengetahuan turun-temurunnya, dan komunitas Brayat Krajan, dengan semangat mudanya, telah menjadi ujung tombak dalam pelestarian situs purbakala ini. Kolaborasi yang inspiratif ini kemudian menarik perhatian Ibu Anie H. Djojohadikusumo, Ketua Yayasan Wadah Titian Harapan (Wadah), yang melihat potensi besar dalam mengembangkan Sangiran menjadi pusat pelestarian budaya yang berkelanjutan dan menginisasi sebuah kolaborasi antara Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Pemerintah Desa Manyarejo, Yayasan Arsari Djojohadikusumo dan Wadah untuk melestarikan warisan budaya sekaligus melakukan pemberdayaan masyarakat.
Sebuah program yang diberi nama Program Kebudayaan Terpadu Sangiran (PKTS) bertujuan untuk melestarikan kebudayaan yang menyejahterakan masyarakat dengan enam program utama yaitu:
1. Pelatihan Manajemen Sumber Daya Manusia dan Organisasi
2. Pendampingan Pelestarian Lingkungan Desa
3. Pelatihan dan Pendampingan Ekonomi Pusaka Berkelanjutan
4. Pendampingan Strategi Branding Manyarejo
5. Revitalisasi Sumber Daya Budaya dan Alam di Pusat Kebudayaan Terpadu Sangiran (PKTS)
6. Pemanfaatan dan Pengembangan Sumber Daya Budaya Melalui Pendidikan dan Kegiatan Berbasis Budaya
Sumber: buku program PKTS
Program Kebudayaan Terpadu Sangiran (PKTS) merupakan sebuah inisiatif inovatif yang bertujuan untuk melestarikan warisan budaya Sangiran secara berkelanjutan. Melalui kolaborasi yang kuat antara pemerintah, akademisi, swasta, dan masyarakat, program ini tidak hanya fokus pada pelestarian situs purbakala, tetapi juga pada pemberdayaan masyarakat. Dengan berbagai pelatihan dan pendampingan, masyarakat dibekali keterampilan yang diperlukan untuk mengelola potensi lokal dan menciptakan produk-produk kreatif berbasis budaya.
Secara resmi dibuka pada tanggal 13 Agustus 2024, program ini mengajak masyarakat Desa Manyarejo untuk menjadi bagian dari upaya pelestarian warisan budaya Sangiran selama lima tahun ke depan. Dengan melibatkan masyarakat secara aktif, maka warisan budaya Sangiran tidak hanya akan terjaga, tetapi juga menumbuhkan perekonomian masyarakat berbasis pada potensi lokal sehingga masyarakat sejahtera.
Author: Robby Reppa
Editor: Paula Stela Nova Landowero